Barang Impor
Sejak awal pemerintah Orde Baru ketergantungan kita akan barang-barang impor setiap tahunnya selalu meningkat, bukan cuma barang industri bahkan hampir semua kebutuhan hajat hidup rakyat kita tergantung barang impor. Tak urung tahu dan tempepun makanan tradisional kita kacang kedelainya di impor dari Amerika, demikian juga dengan beras yang ini bahkan sampai di selundupkan ke negara kita. Di era 70an Indonesia terkenal sebagai negara pengekspor minyak tapi kini kita terpaksa mengimpor minyak.
Beberapa tahun belakangan ini muncul komoditi impor lainnya dikenal dengan Cungkuok sebutan bagi wanita prostitusi 'kelas atas' asal Cina. Wanita-wanita cantik yang dimpor dari Cina ini cukup banyak peminatnya, sama banyaknya dengan yang disebut Uzbek wanita prostitusi yang di impor dari negara bekas Rusia, Uzbekhistan. Berbeda dengan beras atau gula impor selundupan yang lebih murah harganya dengan produksi lokal, wanita prostitusi impor ini harganya lebih tinggi dibandingkan wanita prostitusi lokal, walaupun konon menurut informasi kualitas lokal lebih baik. Kenapa begitu? Tanya punya tanya ternyata wanita impor ini walaupun kualitas mereka dibawah wanita lokal, tapi mereka lebih unggul dalam kemasan dan pelayanan yang profesional. Ternyata, kualitas baik belum cukup untuk memberi 'nilai lebih' tanpa kemasan, pelayan dan penanganan yang profesional.
Bagaimana produk-produk lokal lainnya bisa menjadi tuan rumah di negara sendiri, kalau urusan 'buang tai macan' ini saja masih dipencundangi 'barang impor'?
1 Comments:
weks. bacanya udah serius di bagian atas. di bagian kedua.. ke wanita lagiii.. ck ck ck..
mahal yakh. isi tidak semutu harganya ya. :))
*geleng2* ... baca kalimat terakhir. produk ya li ya. emangnya barang. dijadiin produk.
Post a Comment
<< Home