Lelaki Liar

Sebutan bagi seorang lelaki yang telah menjalani dunia liar sepanjang duapertiga umur. Bercinta dengan malam, bercumbu dengan kehausan, bergumul dengan kenikmatan duniawi; bak pencarian tak bertepi. Bagaimana pun, dari dunia itu pelajaran berharga enggan berhenti memperkaya diri. (ditulis oleh Sa)

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Open minded, open arms, open book

Friday, February 11, 2005

Antara Kitaro dan Indra Lesmana


Setelah pementasan Kitaro di Senayan pertengahan 90an Harry Roesli (alm) menulis di harian Kompas, antara lain menyatakan bahwa sesungguhnya Indra Lesmana itu lebih canggih dari Kitaro. Pernyataan yang sungguh mengejutkan, bagaimana mungkin seseorang menilai musisi jazz lebih baik dari musisi new age, itukan sama saja dengan menilai soto padang 'Ajo Badie' lebih enak dari bakmi 'GM', sama enaknya tapi beda jenisnya. Kalau di bilang Indra Lesmana lebih canggih dari Joe Sample mungkin lebih pas, tapi sebagai pemusik mungkin kang Harry lebih tahu apa yang ditulisnya.

Sejak era 70an pemusik kita memang punya tendensi untuk menyatakan dirinya lebih baik dari pemusik lain, bahkan dari musisi yang sudah mendunia. Sayangnya pernyataan itu tidak dibarengi dengan tindakan. Kitaro misalnya, sebagai gitaris tidak merasa bakal mendunia, Ia hijrah, bukan hanya pindah ke USA tapi juga pindah alat musik jadi kiboris dan berhasil. Kita boleh iri dengan Jepang yang punya Kitaro (new age), Isao Tomita (synth. music), Sadao Watanabe (jazz) atau Stomu Yamastha yang bikin geger dunia musik dengan rock opera 'Red Budha' (di-ikuti kang Harry dengan rock opera 'Ken Arok'). Bukan cuma Jepang, India punya Subramaniam (jazz) yang mampu mencabik-cabik perasaan pendengar dengan lengkingan biolanya. Mereka semua berhasil karena berani hijrah, sementara musisi kita sepertinya tidak punya lagi 'semangat 45' dan keberanian untuk musiknya.

Tahun 70an kita punya kang Harry, mas Guruh dan Ahmad Albar yang waktu itu sedang di Belanda, Ahmad Albar bahkan punya band Clover Leaf yang katanya sempat jadi band pembuka shownya Golden Earring. Bayangkan 3 jagoan musik kita ada di Belanda, negara yang waktu itu dilirik oleh label dunia yang melahirkan Shocking Blue (pop), Earth & Fire (pop rock), Cuby+the Blizzard (blues), Livin' Blues (blues), Golden Earring (rock) dan Focus (prog.rock). Alih-alih berusaha keras dan mengambil kesempatan itu agar mendunia, eehhh 3 jagoan ini malah pulang kampung. Memang di kandang sendiri mereka langsung jadi raja tanpa perlu usaha keras, tapi kesempatan untuk mendunia lenyap sudah, hal serupa juga dilakukan Indra Lesmana yang memilih cepat jadi raja di kandang daripada berusaha keras di Australia. Tjahyo Wisanggeni gitaris neo classic berbakat yang petikannya tak kalah dengan Marty Friedman bahkan mungkin Steve Vai ternyata tertular juga penyakit senior-seniornya yang memilih jadi raja di kampungnya sendiri.

Kekayaan musik Indonesia bernasib sama seperti kekayaan buminya, selalu keduluan di 'curi' bangsa asing. Ray Manzarek, Jon Anderson, Subramaniam dan Eberhard Schoener adalah sebagian kecil musisi yang meng'ambil' gratis musik Bali untuk musiknya baru musisi kita 'kebakaran jenggot', lantas setelah itu baru Guruh-Gypsy bikin album prog.rock dengan nuansa Bali yang keren banget. Sha'aban Yahya musisi Malaysia tidak tanggung-tanggung, semua lagu di albumnya Return to Jogja sangat kental dengan nuansa musik Sunda.

Sebuah pertanyaan klise, kapankah kita akan menjadi tuan rumah di negara sendiri, jawabannya, au ah gelap...he he he.